Pengertian Ekonomi - Ekonomi
adalah salah satu bagian dari ilmu sosial yang mempelajari aktivitas manusia
yang hubungannya dengan distribusi,
produksi, dan juga konsumsi
terhadap jasa dan juga barang.
Untuk pengertian Ekonomi secara umum adalah sebuah bidang ilmu tentang pengurusan sumber material per Individu, masyarakat dan juga Negara, guna untuk meningkatkan kesejahteraan umum.
Untuk pengertian Ekonomi secara umum adalah sebuah bidang ilmu tentang pengurusan sumber material per Individu, masyarakat dan juga Negara, guna untuk meningkatkan kesejahteraan umum.
Pengertian Ekonomi menurut para ahli :
- Hermawan
Kartajaya -
Menurutnya Pengertian Ekonomi ialah platform dimana sektor industri yang
melekat diatasnya
- Paul A.
Samuelson -
Cara-cara yang dilakukan oleh manusia dan juga kelompoknya guna untuk
memanfaatkan sumber yang terbatas dan untuk memperoleh berbagai komoditif
dan mendistribusikannya dan akan dijadikan konsumsi oleh masyarakat.
- Mill J.
s -
Ekonomi adalah sains pratikal tentang penagihan dan pengeluaran.
- Abraham
Maslow -
Ekonomi menurut Abraham Maslow adalah suatu bidang pengkajian yang mencoba
untuk menyelesaikan masalah keperluan asas kehidupan didalam manusia
dengan melalui pengemblengan segala sumber ekonomi yang berasaskan prinsip
dan teori dalam suatu sistem ekonomi yang dianggap efisien dan efektif.
- M.
Manulang -
Menurutnya pengertian ekonomi adalah suatu ilmu yang mempelajari
masyarakat dalam usahanya tersebut guna untuk mencapai kemakmuran, keadaan
dimana suatu manusia dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dari segi pemenuhan
kebutuhan barang atau jasa.
- Adam
Smith -
Pengertian Ekonomi menurut adam smith adalah penyelidikan tentang keadaan
dan juga sebab adanya kekayaan suatu negara.
Hukum
Ekonomi
Hukum ekonomi
adalah suatu hubungan sebab akibat atau pertalian peristiwa ekonomi yang saling
berhubungan satu dengan yang lain dalam kehidupan ekonomi sehari-hari dalam
masyarakat. Selain itu Hukum ekonomi lahir disebabkan oleh semakin pesatnya
pertumbuhan dan perkembangan perekonomian.
Aspek Lain dari Hukum Ekonomi
Aspek dalam hukum
ekonomi adalah semua yang berpengaruh dalam kegiatan ekonomi antara lain adalah
pelaku dari kegiatan ekonomi yang jelas mempengaruhi kejadian dalam ekonomi,
komoditas ekonomi yang menjadi awal dari sebuah kegiatan ekonomi, kemudian
aspek-aspek lain yang mempengaruhi hukum ekonomi itu sendiri seperti contoh
yang ada di atas, yaitu kurs mata uang, aspek lain yang berhubungan seperti
politik dan aspek lain dalam hubungan ekonomi yang sangat kompleks. Selain
aspek dalam hukum ekonomi ada juga norma dalam hukum ekonomi yang juga sudah
digambarkan dalam berbagai contoh yang sudah disebutkan di atas, dimana jika
suatu aspek ekonomi itu mengalami suatu kejadian yang menjadi sebab maka norma
ekonomi itu berlaku untuk menjadikan bagaimana suatu sebab mempengaruhi
kejadian lain yang menjadi akibat dari kejadian pada sebab tersebut. Dapat
diartikan bahwa norma hukum ekonomi adalah aturan-aturan yang berlaku dalam
hukum ekonomi tersebut.
Sunaryati Hartono
mengatakan bahwa hukum ekonomi adalah penjabaran ekonomi pembangunan dan hukum
ekonomi sosial sehingga hukum tersebut mempunyai dua aspek berikut:
- Aspek
pengaturan usaha – usaha pembangunan ekonomi.
- Aspek
pengaturan usaha – usaha pembangunan hasil dan pembangunan ekonomi secara
merata di seluruh lapisan masyarakat.
Hukum ekonomi Indonesia dibedakan menjadi 2, yaitu :
a.
Hukum Ekonomi Pembangunan
Hukum ekonomi
pembangunan adalah yang meliputi pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara –
cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi Indonesia secara nasional.
b.
Hukum Ekonomi Sosial
Hukum ekonomi sosial
adalah yang menyangkut peraturan pemikiran hukum mengenai cara – cara pembegian
hasil pembangunan ekonomi nasional secara adil dan merata dalam HAM manusia
Indonesia. Hukum ekonomi sosial adalah yang menyangkut peraturan
pemikiran hukum mengenaicara-cara pembegian hasil pembangunan ekonomi nasional
secara adil dan merata dalam HAM manusia Indonesia.
Namun ruang lingkup
hukum ekonomi tidak dapat diaplikasikan sebagai satu bagian dari salah satu
cabang ilmu hukum, melainkan merupakan kajian secara interdisipliner dan
multidimensional. Atas dasar itu, hukum ekonomi menjadi tersebar dalam berbagai
peraturan undang-undangyang bersumber pada pancasila dan UUD 1945.Sementara
itu, hukum ekonomi menganut azas, sebagi berikut :
- Azas
keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan TME.
- Azas
manfaat.
- Azas
demokrasi pancasila.
- Azas
adil dan merata.
- Azas keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan dalam perikehidupan.
- Azas
hukum.
- Azas
kemandirian.
- Azas
Keuangan.
- Azas
ilmu pengetahuan.
- Azas
kebersamaan, kekeluargaan, keseimbangan, dan kesinambungan dalam
kemakmuranrakyat.
- Azas
pembangunan ekonomi yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
- Azas
kemandirian yang berwawasan kenegaraan.
Dengan demikian,
dalam era globalisasi membuat dunia menjadi satu sehingga batas-batas Negara
dalam pengertian ekonomi dan hukum menjadi kabur. Oleh karena itu, pertimbangantentang
apa yang berkembang secara internasional menjadi begitu penting untuk dijadikan
dasar-dasar hukum ekonomi.
Subyek Hukum Perdata
1.
Manusia
Subekti dalam bukunya yang berjudul Pokok-Pokok
Hukum Perdata (hal. 19-21) mengatakan bahwa dalam hukum, orang (persoon) berarti pembawa hak atau
subyek di dalam hukum. Sebagaimana kami sarikan, seseorang dikatakan sebagai
subjek hukum (pembawa hak), dimulai dari ia dilahirkan dan berakhir saat ia
meninggal. Bahkan, jika diperlukan (seperti misalnya dalam hal waris), dapat
dihitung sejak ia dalam kandungan, asal ia kemudian dilahirkan dalam keadaan
hidup.
2.
Badan Hukum
Subekti (Ibid, hal 21)
mengatakan bahwa di samping orang, badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan
juga memiliki hak dan melakukan perbuatan hukum seperti seorang manusia.
Badan-badan atau perkumpulan-perkumpulan itu mempunyai kekayaan sendiri, ikut
serta dalam lalu lintas hukum dengan perantara pengurusnya, dapat digugat, dan
dapat juga menggugat di muka hakim.
Pada sumber lain, penjelasan dalam artikel Metamorfosis Badan Hukum Indonesia mengatakan bahwa dalam
hukum perdata telah lama diakui bahwa suatu badan
hukum (sebagai suatu subyek hukum mandiri; persona standi in judicio) dapat melakukan perbuatan melawan hukum (onrechtmatig handelen; tort). Badan
hukum mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum seperti halnya orang, akan
tetapi perbuatan hukum itu hanya terbatas pada bidang hukum harta kekayaan.
Mengingat wujudnya adalah badan atau lembaga, maka dalam mekanisme
pelaksanaannya badan hukum bertindak dengan perantara pengurus-pengurusnya.
Lebih lanjut dikatakan dalam artikel itu bahwa badan hukum perdata
terdiri dari beberapa jenis, diantaranya perkumpulan, sebagaimana terdapat
dalam Pasal 1653 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”);
Perseroan Terbatas (Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas);
Koperasi (Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian);
dan Yayasan (Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Yayasan sebagaimana
yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2004).
Subyek Hukum Publik (Pidana)
1. Manusia
Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (hal. 59) mengatakan bahwa dalam
pandangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), yang
dapat menjadi subjek tindak pidana adalah seorang manusia sebagai oknum. Ini
terlihat pada perumusan-perumusan dari tindak pidana dalam KUHP yang
menampakkan daya berpikir sebagai syarat bagi subjek tindak pidana itu, juga
terlihat pada wujud hukuman/pidana yang termuat dalam pasal-pasal KUHP, yaitu
hukuman penjara, kurungan, dan denda.
2. Badan Hukum (Korporasi)
Masih bersumber pada artikel Metamorfosis Badan Hukum Indonesia, dalam ilmu hukum pidana, gambaran tentang pelaku tindak pidana
(kejahatan) masih sering dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan
oleh pelaku (fysieke dader).
Dalam pustaka hukum pidana modern telah diingatkan, bahwa dalam
lingkungan sosial ekonomi atau dalam lalu lintas
perekonomian, seorang pelanggar hukum pidana tidak selalu perlu melakukan
kejahatannya itu secara fisik.
Karena perbuatan korporasi selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia
(direksi; manajemen), maka pelimpahan
pertanggungjawaban manajemen (manusia; natural person), menjadi perbuatan korporasi (badan hukum; legal person) dapat dilakukan apabila
perbuatan tersebut dalam lalu lintas kemasyarakatan berlaku sebagai perbuatan
korporasi. Ini yang dikenal sebagai konsep hukum tentang pelaku fungsional (functionele dader).
KUHP belum menerima pemikiran di atas dan menyatakan bahwa hanya
pengurus (direksi) korporasi yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum
pidana (criminal liability). Namun, pada
perkembangannya korporasi juga dapat dimintakan pertanggungjawaban secara
hukum. Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Dari penjelasan di atas dapat
diketahui bahwa baik hukum perdata maupun hukum pidana, subjek hukum terdiri
dari orang dan badan hukum. Dalam hukum perdata dan hukum pidana keduanya
mengakui bahwa badan hukum mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum
seperti halnya orang. Hal ini karena perbuatan badan hukum selalu diwujudkan
melalui perbuatan manusia.
Selain itu, baik dalam hukum pidana
maupun hukum perdata, badan hukum dalam melakukan perbuatan hukum bertindak
dengan perantaraan pengurus-pengurusnya. Dalam hukum pidana, karena perbuatan
badan hukum selalu diwujudkan melalui perbuatan manusia (direksi), maka
pelimpahan pertanggungjawaban pidananya terdapat pada manusia, dalam hal ini
diwakili oleh direksi.
Perbedaannya, dalam KUHP tidak diatur
mengenai pertanggungjawaban Direksi, hanya pertanggungjawaban individual. Akan
tetapi, pada perkembangannya, dalam peraturan perundang-undangan dikenal juga
tindak pidana korporasi.
Sejarah Singkat Hukum Perdata
Dilihat dari sejarahnya hukum perdata
yang berlaku di Indonesia terkait dengan hukum perdata bangsa Eropa.
Berawal dari benua Eropa, terutama di Eropa Kontinental yang menggunakan
Hukum Perdata Romawi sebagai hukum asli dari negara-negara di Eropa, tapi
selain itu juga memberlakukan Hukum Tertulis dan Hukum Kebiasaan Setempat, oleh
karena itu hukum di Eropa tidak berjalan sebagai mana mestinya, karena
tiap-tiap daerah memiliki peraturannya masing-masing.
Karena hukum tidak seragam dan berlaku sesuai dengan daerah
masing-masing maka pada tahun 1804 Napoleon menghimpun satu kumpulan peraturan
dibagi menjadi dua kodifikasi yang pertama bernama “Code Civil des Francais” yang juga disebut “Code Napoleon” dan
yang kedua tentang peraturan-peraturan yang belum ada di Jaman Romawi anatara
lain masalah asuransi, wessel, badan hukum dan perdagangan yang akhirnya dibuat
kitab undang-undang hukum tersendiri dengan nama “Code de Commerce”
Sewaktu Bangsa Perancis menjajah Bangsa Belanda (1809-1811), Raja
Lodewijk Napoleon menetapkan “Wetboek Napoleon Ingeright Voor het Koninkrijk Holland” yang isinya mirip dengan
“Code Civil des Francais atau Code Napoleon” untuk dijadikan sumber Hukum
Perdata di Belanda (Nederland)
Setelah penjajahan berakhir pada tahun 1811 dan Belanda dinyatakan
bersatu dengan Perancis, Code Civil des Francais atau Code Napoleon ini tetap
berlaku di Belanda sampai 24 tahun kemerdekaannya.
Untuk selanjutnya Belanda mulai memikirkan
dan membuat kodifikasi dari Hukum Perdatanya sendiri. Pada tahun 1814.Belanda
mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri
Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh .J.M. Kemper
disebut Ontwerp Kemper namun sayangnya kemper meninggal dunia di
tahun 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh Nicolai yang
menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia. Akhirnya hukum tersebut terealisasi
pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembentukan dua
kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 Oktober 1838 yaitu Burgerlijk
Wetboek (BW) dan Wetboek van Koophandle (WVK),
keduanya adalah produk nasional asli negara Belanda namun isi dan bentuknya
sebagian besar sama dengan code Civil des Francais dan Code de Cmmerce.
Sebagaimana di kutip dalam sejarah, bahwa Indonesia pernah di jajah Belanda sampai 2,5 abad lamanya sehingga hal tersebut mempengaruhi hukum
awal yang diberlakukan di Indonesia, sehingga sampai Indonesia merdeka hukum
yang berlaku di Indonesia masih mengacu pada hukum yang pertama kali diterapkan
oleh Belanda.
Dan pada tahun 1948 kedua kodifikasi tersebut
di berlakukan di Indonesia berdasar azas koncordantie (azas politik hukum) yang
sampai saat ini kita kenal dengan KUH Sipil (KUHP) atau Burgerlijk Wetboek (BW)
dan KUH Dagang atau Wetboek van Koophandle (WVK)
DASAR HUKUM PERIKATAN
Sumber-sumber
hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan
sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan
undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia
dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
1. Perikatan yang timbul dari persetujuan
( perjanjian )
2. Perikatan yang timbul dari
undang-undang
3. Perikatan terjadi bukan perjanjian,
tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan
perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )
Sumber perikatan berdasarkan
undang-undang :
1. Perikatan
( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau
karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk
berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2. Persetujuan
( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana
satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3. Undang-undang
( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul
dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
Asas-asas dalam hukum perjanjian diatur dalam Buku III
KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
• Asas Kebebasan BerkontrakAsas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
• Asas konsensualisme
Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata. Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri
Kata
sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang
mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok
dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian
Cakap
untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut
hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai Suatu Hal Tertentu
Mengenai
suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci
(jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan
kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan
antara para pihak.
4. Suatu sebab yang Halal
Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
Azas-azas hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni :
1. Azas Kebebasan Berkontrak
Dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dengan demikian, cara ini dikatakan ‘sistem terbuka’, artinya bahwa dalam membuat perjanjian ini para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjiannya dan sebagai undang-undang bagi mereka sendiri, dengan pembatasan perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan norma kesusilaan.
Dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Dengan demikian, cara ini dikatakan ‘sistem terbuka’, artinya bahwa dalam membuat perjanjian ini para pihak diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjiannya dan sebagai undang-undang bagi mereka sendiri, dengan pembatasan perjanjian yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan norma kesusilaan.
2. Azas Konsensualisme
Azas ini berarti, bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yaitu :
1. Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
3. Mengenai suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Azas ini berarti, bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yaitu :
1. Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
3. Mengenai suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Posting Komentar